
kabarmuarateweh.id – Laporan mengenai kasus keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus bermunculan dari berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) per 26 September 2025, tercatat sebanyak 7.368 anak menjadi korban keracunan, tersebar di 52 kabupaten/kota. Kabupaten Bandung Barat menjadi wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, yakni mencapai 1.333 korban.
Jumlah tersebut kemungkinan belum mencerminkan angka sesungguhnya di lapangan. CISDI menyebut kasus yang dilaporkan saat ini bisa jadi hanyalah ‘fenomena gunung es’ atau tip of the iceberg, yang berarti jumlah korban sebenarnya bisa jauh lebih banyak.
Menanggapi situasi tersebut, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) terkait insiden keracunan MBG di wilayahnya.
Pakar Kesehatan Publik, Nadhira Nuraini Afifa, dalam unggahan di akun Instagram-nya, menyoroti perlunya perhatian serius terhadap kasus ini. Ia membandingkan dengan kasus Polio yang hanya membutuhkan satu temuan kasus di Aceh pada 2022 untuk ditetapkan sebagai KLB Nasional. Kala itu, pemerintah segera merespons dengan imunisasi massal dan penguatan sistem surveilans nasional. Menurut Nadhira, dengan jumlah korban keracunan MBG yang telah mencapai lebih dari 7.000 anak, penetapan status KLB secara nasional sangat layak dilakukan. Ia menilai kasus ini jauh lebih mendesak karena dampaknya nyata, meluas, dan jumlah korbannya terus bertambah.
Ada beberapa alasan hingga MBG dikatakan problematik. Ditengah program efisiensi anggaran yang dicanangkan, serta gonjang-ganjing dalam pelaksanaan, alokasi anggaran MBG pada APBN 2026 justru dilipatgandakan. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung, dari sebesar Rp121 triliun pada 2025, meningkat menjadi Rp335 triliun pada 2026. Konon katanya, program pemborosan ini diperuntukkan bagi 82,9 juta sasaran. Sebanyak Rp223,6 triliun masuk dalam anggaran pendidikan; Rp24,7 triliun masuk dalam kategori anggaran kesehatan; dan Rp19,7 triliun masuk dalam fungsi ekonomi. Transparansi dana juga minim pemberitaan. Besar kemungkinan Program MBG jadi lahan korup segelintir orang apalagi jalur pendaan melewati banyak pos.
Dari banyaknya jumlah pelajar yang keracunan massal serta banyak pula berita yang beredar terkait ketidak higienisan dapur MBG terutama Food Tray MBG impor yang mengandung babi, banyak orang tua yang menolak anaknya diberi makan dan lebih memilih tidak menerima atau membawa bekal dari rumah sendiri. Sekalipun Badan Gizi Nasional menjamin akan membayar seluruh biaya perawatan korban keracunan, namun tidak ada jaminan kecarunan tidak akan terulang lagi. Apalagi program ini berjalan tanpa payung hukum sehingga sistem tata kelolanya serba kacau dan implementasi di lapangan rentan berbagai penyimpangan.
Rakyat juga mengkritik latar belakang pimpinan Badan Gizi Nasional yang tidak memiliki latar ahli gizi. Dari Kepala BGN, Wakil Kepala, Sekretaris Utama, Inspektur Utama, Deputi Sistem dan Tata Kelola BGN hingga Deputi Promosi dan Kerja Sama BGN. Wajar saja jika banyak menu MBG di sejumlah daerah yang tidak memenuhi standar makanan bergizi.
Program MBG merupakan program unggulan pemerintah yang digadang-gadang bisa mengatasi masalah kekurangan gizi pada anak demi menuju Indonesia Emas 2045. Sekalipun banyak menuai kritik dari sejumlah pihak, pemerintah hanya mengeluarkan janji akan mengatasi masalah keracunan makanan serta ucapan permintaan maaf namun tetap melanjutkan program bahkan meningkatkan anggaran.
Pernyataan Presiden dalam pidatonya menunjukkan bahwa pemerintah lebih menekankan aspek kuantitas ketimbang kualitas dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Presiden menyatakan bahwa meskipun terdapat kasus keracunan, keberhasilan program MBG tetap mencapai 99,9 persen, merujuk pada perbandingan jumlah kasus keracunan terhadap total penerima manfaat program.
Namun, pendekatan ini dinilai mengabaikan dampak nyata yang dirasakan rakyat. Alih-alih memperkuat kualitas kesehatan anak bangsa, program ini justru menimbulkan korban. Dengan anggaran sebesar itu, seharusnya pemerintah dapat mengalokasikannya ke sektor-sektor yang lebih mendesak seperti pendidikan, kesehatan, bantuan untuk keluarga miskin, atau pembangunan sektor strategis yang memberikan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan rakyat.
Sayangnya, orientasi kebijakan pemerintah saat ini tampak tidak sejalan dengan aspirasi rakyat. Hal ini tidak lepas dari realitas politik bahwa pemerintahan yang ada bukan lahir dari proses demokratis yang murni, melainkan melalui dinamika politik dan kompromi dengan para pemilik kepentingan dan modal. Akibatnya, banyak kebijakan yang diambil lebih mencerminkan kepentingan politik sesaat dan mengarah pada paradigma populisme serta pro-kapitalis, ketimbang benar-benar berpihak pada rakyat.
(Sumber: Muslimahnews.net, 24 September 2025).
Walhasil wajar jika program MBG dinilai hanyalah sebagai “proyek” yang menguntungkan sejumlah pihak yang lagi-lagi tidak memprioritaskan keselamatan rakyat.
Pemimpin adalah Pengurus
Pemimpin dalam sistem kapitalis demokrasi memang terlahir dari jual beli politik. Pencitraan menjadi sesuatu yang wajar demi bisa menipu rakyat dan mencari sponsorship dari para pemilik modal. Untuk masuk ke dunia politik membutuhkan biaya yang sangat besar. Wajar saja, saat mereka terpilih, bukan kesejahteraan rakyat yang diutamakan, mereka terlupakan dengan tanggung jawabnya dan sibuk dengan urusan ‘balik modal’ ataupun ‘hutang budi’ pada pemodalnya.
Akar masalah dari kacaunya perpolitikan hari ini adalah permasalahan sistemik yang disebabkan ideologi kapitalisme yang diterapkan di negeri ini.
Hubungan rakyat dan penguasa hanyalah hubungan ijarah (upah-mengupah), bukan hubungan riayah (kepengurusan). Apalagi hubungan tanggung jawab yang harus dihadapi di akhirat kelak. Kesadaran akan dosa dan beratnya Adzab dihilang dalam benak terutama benak penguasa disebabkan sistem ini mengharuskan pemisahan agama dalam urusan politik. Yang dipahami tentang dosa hanya ketika tidak shalat dan puasa, padahal segala pelanggaran terhadap perintah Allah memiliki konsekuensi berat baik di dunia maupun di akhirat.
Rasulullah saw. Mengingatkan kita,
فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya.” (shahih bukhari)
Dengan kesadaran akan tanggung jawab amanah kekuasaan, pemimpin akan lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan dan memperhatikan ketentuan syarak. Sikap seperti ini hanya bisa terwujud jika sistem islam diterapkan. Wallahu’alam. (*)
Penulis : Leonardo